Minggu, 22 Maret 2015



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asma merupakan penyakit saluran napas yang ditandai oleh penyempitan bronkus akibat adanya hiper reaksi terhadap sesuatu perangsangan langsung/fisik ataupun tidak langsung. Tanpa pengelolaan yang baik asma akan mengganggu kehidupan penderita dan akan cenderung mengalami peningkatan, sehingga dapat menimbulkan komplikasi ataupun kematian. Walaupun
asma merupakan penyakit yang dikenal luas di masyarakat namun kurang dipahami semestinya
hingga timbul anggapan dari sebagian dokter dan masyarakat bahwa asma merupakan penyakit
yang sederhana serta mudah diobati. Sehingga timbul kebiasaan untuk mengatasi gejala asma hanya terhadap gejala sesak napas dan mengi dengan pemakaian obat-obatan dan bukannya mengelola asma secara lengkap.
Menurut Sri Astuti Suparmanto (1994) mengatakan prevalensi asma pada anak Indonesia cukup tinggi. Meski demikian pemerintah belum memiliki data yang rinci untuk tiap wilayah. Hanya memiliki data pada anak sekolah di beberapa kota besar seperti Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Denpasar. Prevalensi pada anak SD berkisar antara 3,7%-16,4% sedangkan pada anak SMP di Jakarta 5,8%. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1996, penyakit-penyakit yang menyebabkan sesak napas seperti bronchitis, emfisema dan asma merupakan penyebab kematian ke-7 di Indonesia. WHO memperkirakan antara 100-150 juta penduduk di dunia penyandang asma dan diperkirakan jumlahnya terus bertambah sekitar 180.000 setiap tahunnya. Asma terdapat dan tersebar di seluruh tempat di dunia dengan kekerapan bervariasi. Kekerapan yang paling tinggi ditemukan di
negara-negara Anglo-Saxon yakni 17-20%. Di Indonesia belum ada survei nasional, tetapi penelitian yang dilakukan oleh beberapa institusi menunjukkan kekerapan antara 2-7% (Van, 2004).
Akhir-akhir ini dilaporkan adanya peningkatan prevalensi morbiditas dan moratitas asma di seluruh dunia terutama di daerah perkotaan dan industri. Disebabkan penderita asma ringan dan periodik tidak menyadari mengidap asma dan menduganya sebagai penyakit pernapasan lain atau batuk biasa. Gangguan batuk dan sesak dialami bila ada rangsangan seperti angin malam yang dingin, flu atau iritasi bahan polutif seperti rokok atau asap hingga diduganya semata-mata terjadi akibat rangsangan tersebut. Pemikiran timbul bila napas telah berbunyi atau mengi dan mengganggu kegiatan sehari-hari. Padahal pada saat tersebut mungkin telah terdapat gangguan lanjut berupa emfisema yang merupakan gangguan faal paru hingga perlu menggunakan obat asma secara kontinyu.
Prevalensi yang tinggi menunjukkan bahwa pengelolaan asma belum berhasil. Berbagai faktor menjadi sebab dari keadaan yaitu berbagai kekurangan dalam hal pengetahuan tentang asma, kelaziman melakukan diagnosis yang lengkap atau evaluasi pre terapi, sistimatika dan pelaksanaan pengelolaan, upaya pencegahan dan penyuluhan dalam pengelolaan asma. Mengingat hal tersebut pengelolaan asma yang terbaik haruslah dilakukan pada saat dini dengan
berbagai tindakan pencegahan agar penderita tidak mengalami serangan asma. Untuk meningkatkan pengelolaan asma yang baik hal-hal tersebut harus dipahami dan dicarikan pemecahannya (Zul Dahlan, 2005).
Untuk itulah senam pernapasan didirikan dapat memberikan pelayanan, pendidikan dan pelatihan senam penyembuhan dengan pola olah napas, olah gerak, dan olah batin serta pemanfaatan energi kehidupan untuk kesembuhan orang lain. Sumber energi utama yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia adalah udara/oksigen, sebab tanpa oksigen manusia pasti mati. Energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Energi hanya bisa dirubah dari bentuk satu kebentuk yang lain. Energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja, (O 2 + Karbohidrat + Lemak – Sistem Metabolisme – ATP = Energi = Kerja). Dari hukum-hukum tersebut di tambah kajian ilmu olahraga maka dapat diseimpulkan bahwa ilmu olah pernapasan adalah suatu tata cara mengatur sistem pernapasan dengan disertai tata konsentrasi, tata gerak, fisik untuk mengubah energi udara menjadi energi tertentu yang bermanfaat. Dengan suatu metode yang tepat dan benar energi udara dapat diubah menjadi energi kesehatan, penyembuhan, daya tahan, peningkatan vitalitas kerja, konsentrasi dan kekuatan batin, tenaga dalam dan fungsi pernapasan (Santosa Giriwijoyo, 2006)
Fungsi senam pernapasan dapat memberikan manfaat yang lebih besar, aman, nyaman dan memperbaiki kualitas hidup seluruh penderita asma karena senam pernapasan merupakan suatu bentuk olahraga yang gerakannya tidak begitu berat (relaks), tapi dapat menyebabkan energi atau tenaga banyak berkurang. Senam pernapasan merupakan olahraga yang intensitas dan frekuensinya yang tepat bagi penderita asma sehingga dengan latihan olahraga senam pernapasan
diharapkan dapat bermanfaat untuk mengendalikan dan mengurangi kambuhnya serangan asma.

1.2 Rumusan Masalah































BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Asma
Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis. Ciri-ciri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas. Asma dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan lingkungan, mengingat patogenesisnya tidak jelas, asma didefinisikan secara deskripsi yaitu penyakit inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan, dengan gejala episodik berulang berupa batuk, sesak napas, mengi dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari, yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan. Karena dasar penyakit asma adalah inflamasi, maka obat-obat antiinflamasi berguna untuk mengurangi reaksi inflamasi pada saluran napas. Kortikosteroid merupakan obat antiinflamasi yang paten dan banyak digunakan dalam penatalaksanaan asma. Obat ini dapat diberikan secara oral, inhalasi maupun sistemik.
2.2 Tanda dan Gejala
Penyakit asma mempunyai manifestasi fisiologis berbentuk penyempitan yang meluas pada saluran pernafasan yang dapat sembuh spontan atau sembuh dengan terapi. Penyakit ini bersifat episodik dengan eksaserbasi akut yang diselingi oleh periode tanpa gejala. Keluhan utama penderita asma adalah sesak nafas mendadak disertai inspirasi yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi dan diikuti oleh bunyi mengi (wheezing), batuk yang disertai serangan sesak nafas yang kumat-kumatan. Pada beberapa penderita asma keluhan tersebut dapat menjadi ringan, sedang atau berat serta sesak nafas penderita timbul secara mendadak, dirasakan makin lama makin meningkat atau tiba-tiba menjadi berat. Hal ini sering terjadi terutama pada penderita dengan bronkhitis alergika atau radang saluran nafas bagian atas. Sedangkan pada sebagian besar penderita keluhan utama ialah sukar bernafas disertai rasa tidak enak didaerah retrosternal.
2.3 Problematika Fisioterapi
Problema yang biasanya ditemukan pada kasus asma bronchiale adalah : sesak nafas (biasanya timbul pada saat pasien kedinginan, dan alergi pada debu), batuk berdahak, dan dahak sulit untuk dikeluarkan.
2.3.1. Sesak Nafas
 Sesak nafas adalah keluhan yang menunjukan adanya gangguan pada penyakit respirasi.
a. Faktor pencetus sesak nafas
b. Faktor peningkatan kerja pernafasan, dibagi menjadi dua yaitu :
1). Peningkatan ventilasi (Latihan jasmani,
Hiperkapnia, Hipoksia, Asidosis metabolic).
2). Sifat-sifat yang berubah, diantaranya :
        (a) Tahanan elastis paru meningkat misalnya pada pneumonia, atelektasis, kongesti, pneumothoraks, danefusi pleura.
                               (b) Tahanan elastis dinding thoraks meningkat, misalnya pada obesitas dankifoskoliosis.
        (c)  Peningkatan tahanan bronchial selain dari tahanan elastis.Dapat dijumpai pada penyakit emfisema, bronchitis, dan asma bronchiale.
c. Otot-otot  pernafasan  yang  abnormal,yaitu:
1)  Penyakit otot diantaranya: a) Kelemahan otot, misalnya pada miastenia gravis Perbedaan Postural Drainage Dan Latihan Batuk Efektif Pada Intervensi Nabulizer Terhadap Penurunan Frekuensi Batuk Pada Asma Bronchiale Anak Usia 3-5 Tahun Jurnal Fisioterapi Volume 13 Nomor 1 , April 2013 dan tiroktosikosis. b) Kelumpuhan otot, misalnya pada poliomyelitis dan sindrom Guil lain Barre. c) Otot yang mengalami distrofi.
2).   Fungsi mekanik otot diantaranya :
a)   Fungsi mekanis berkurang pada fase inspirasi, misalnya pada emfisema.
b) Fungsi mekanis otot berkurang pada fase ekspirasi, misalnya pada penderita obesitas.


2.3.2. Klasifikasi Sesak Nafas
Sesuai dengan berat-ringannya keluhan, sesak nafas dapat dibagi memjadi lima tingkat dengan penjelasan sebagai berikut :
a). Tingkat I
Tidak ada hambatan dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Sesak terjadi pada saat sedang melakukan aktifitas jasmani yang lebih berat dari biasanya.Penderita dapat melakukan aktifitas sehari-hari dengan baik.
b). Tingkat II
Tidak ada hambatan aktifitas yang biasa dilakukan pada kehidupan sehari-hari. Sesak timbul bila aktifitas yang lebih berat (naik tangga atau mendaki), tetapi bila berjalan di jalan datar tidak terasa sesak. Sebaiknya penderita bekerja di kantor/tempat yang tidak memerlukan tenaga terlalu banyak atau pada pekerjaan yang tidak berpindah-pindah.
c). Tingkat III
Sesak sudah terjadi bila penderita melakukan aktifitas sehari-hari (mandi, berpakaian, dll) tetapi penderita masih dapat melakukan aktifitas sehari-hari tanpa bantuan orang lain. Sesak tidak timbul saat istirahat, penderita juga masih mampu berjalan-jalan ke daerah sekitar, walaupun tidak sebaik orang sehat seumurnya. Lebih baik penderita tidak bekerja lagi, mengingat penyakit cukup berat.
d). Tingkat IV
Sesak sudah terjadi bila penderita melakukan aktifitas sehari-hari (mandi, berpakaian, dll) sehingga membutuhkan bantuan orang lain pada waktu melakukan kegiatan sehari-hari. Sesak tidak timbul pada waktu penderita istirahat, tapi mulai timbul pada waktu pekerjaan ringan sehingga penderita perlu istirahat sebentar. Pekerjaan sehari-hari tidak dapat dilakukan dengan leluasa.
e). Tingkat V
Penderita harus membatasi diri dalam segala aktivitas sehari-hari yang biasa dilakukan rutin. Keterbatasan ini menyebabkan penderita lebih banyak berada ditempat tidur atau hanya duduk di kursi. Untuk memenuhi segala kebutuhannya penderita sangat tergantung pada bantuan orang lain.
2.3.3. Batuk
Batuk dalam bahasa latin disebut  tussis adalah refleks yang dapat terjadi secara tiba-tiba dan sering berulang-ulang yang bertujuan untuk membantu membersihkan saluran pernapasan dari lendir besar, iritasi, partikel asing dan mikroba. Batuk dapat terjadi secara sengaja maupun tanpa disengaja.Batuk merupakan suatu tindakan refleks pada saluran pernafasan  yang  digunakan  untuk  membersihkan saluran udara atas.Salah satunya untuk mengeluarkan sputum.Sputum adalah zat mucousy (terdiri dari sel-sel dan materi lainnya) yang disekresikan ke dalam saluran udara dari saluran pernapasan. Sputum tidak sama dengan air liur, air liur merupakan suatu zat yang disekresi dalam mulut untuk membantu pencernaan. (Goldsobel, 2010)
2.3.4. Mekanisme batuk
Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase inspirasi, fase kompresi dan fase ekspirasi (literatur lain membagi fase batuk menjadi 4 fase yaitu fase iritasi, inspirasi, kompresi, dan ekspulsi). Batuk biasanya bermula dari inhalasi sejumlah udara, kemudian glotis akan menutup dan tekanan di dalam paru akan meningkat yang akhirnya diikuti dengan pembukaan glotis secara tiba-tiba dan ekspirasi sejumlah udara dalam kecepatan tertentu. Fase inspirasi dimulai dengan inspirasi singkat dan cepat dari sejumlah besar udara, pada saat ini glotis secara refleks sudah terbuka. Volume udara yang diinspirasi sangat bervariasi jumlahnya, berkisar antara 200 sampai 3500 ml di atas kapasitas residu fungsional. Penelitian lain menyebutkan jumlah udara yang dihisap berkisar antara 50% dari  tidal volume sampai 50% dari kapasitas vital. Ada dua manfaat utama dihisapnya sejumlah besar volume ini. Pertama, volume yang besar akan memperkuat fase ekspirasi nantinya dan dapat menghasilkan ekspirasi yang lebih cepat dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume yang besar akan memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga pengeluaran sekret akan lebih mudah. Setelah udara di inspirasi, maka mulailah fase kompresi dimana glotis akan tertutup selama 0,2 detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan abdomen akan meningkat 50-100 mmHg. Tertutupnya glotis merupakan ciri khas batuk, yang membedakannya dengan manuver ekspirasi paksa lain karena akan menghasilkan tenaga yang berbeda. Tekanan yang didapatkan bila glotis tertutup adalah 10 sampai 100% lebih besar daripada cara ekspirasi paksa yang lain. Di pihak lain, batuk juga dapat terjadi tanpa penutupan glotis.
Fase Batuk Kemudian, secara aktif glotis akan terbuka dan berlangsunglah fase ekspirasi. Udara akan keluar dan menggetarkan jaringan saluran napas serta udara yang ada sehingga menimbulkan suara batuk yang kita kenal. Arus udara ekspirasi yang maksimal akan tercapai dalam waktu 3050 detik setelah glotis terbuka, yang kemudian diikuti dengan arus yang menetap. Kecepatan udara yang dihasilkan dapat mencapai 16.000 sampai 24.000 cm per menit, dan pada fase ini dapat dijumpai pengurangan diameter trakea sampai 80%. Frekuensi batuk dipengaruhi oleh hipersekresi sehingga produksi mucus berlebih, penumpukan mucus menyebabkan lemah fungsi silia, ventilasi paru rendah menyebabkan terjadinya obstruksi, daya tahan tubuh turun.
2.3.5. Dahak
Sputum adalah zat mucousy (terdiri dari sel-sel dan materi lainnya) yang disekresikan ke dalam saluran udara dari saluran pernapasan. Sputum tidak sama dengan air liur, air liur merupakan suatu zat yang disekresi dalam mulut untuk membantu pencernaan. Anak-anak pada umumnya belum bisa mengeluarkan dahag atau sputum dengan sendiri oleh sebab itu untuk mempermudah hal tersebut dapat dibantu dengan terapi inhalasi yang merupakan pemberian obat secara langsung ke dalam saluran napas melalui penghisapan. Terapi pemberian ini, saat ini makin berkembang luas dan banyak dipakai pada pengobatan penyakit-penyakit saluran napas. Berbagai  macam  obat  seperti  antibiotik, mukolitik, anti inflamasi dan bronkodilator sering digunakan pada terapi inhalasi.
2.3.6. Wheezing
Merupakan suara yang terdengar pada saat ekspirasi, disebabkan oleh penyumbatan jalan nafas yang disebabkan oleh penyempitan pada bronchial lumen, bronchospasme, dan oedem pada bronchial mukosa atau sekresi yang berlebih. Wheezing sendiri terdiri dari beberapa derajat, yaitu :
(1) Ringan, wheezing terdengar pada saat akhir ekspirasi atau bahkan saat ekspirasi   paksa.
(2)  Sedang, wheezing terdengar pada pertengahan sampai akhir ekspirasi.
(3) Berat, whezzing terdengar sepanjang ekspirasi atau bahkan terdengar saat inspirasi.
2.4 Faktor Risiko Asma
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor lingkungan.
2.4.1. Faktor Genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
2.4.2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
2.4.3. Faktor lain
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.
d. Ekspresi emosi berlebih
Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati.
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.
h. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan).
i. Status ekonomi
2.5. Klasifikasi Asma
Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa derajat berat asma persisten dapat berkurang atau bertambah. Derajat gejala eksaserbasi atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat sebelumnya.
Klasifikasi Menurut Etiologi
Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etiologi, terutama dengan bahan lingkungan yang mensensititasi. Namun hal itu sulit dilakukan antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui.
Klasifikasi Menurut Derajat Berat Asma
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan obat yang diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten berat.
Klasifikasi Menurut Kontrol Asma
Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya, istilah kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau bahkan sembuh. Namun pada asma, hal itu tidak realistis; maksud kontrol adalah kontrol manifestasi penyakit. Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan. Tujuan pengobatan adalah memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan pemberian obat yang aman, dan tanpa efek samping.
Klasifikasi Asma Berdasarkan Gejala
Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan. Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit, pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk mengklasifikasi penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi itu sangat penting untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan asma ditentukan oleh berbagai faktor seperti gambaran klinis sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi β-2 agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Asma dapat diklasifikasikan menjadi intermiten, persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat.
Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma serangan sedang, dan asma serangan berat. Dalam hal ini perlu adanya pembedaan antara asma kronik dengan serangan asma akut. Dalam melakukan penilaian berat ringannya serangan asma, tidak harus lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang ada.
2.6 Pencegahan
a.       Mencegah Sensititasi
Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi (terjadinya atopi, diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan terjadinya asma pada individu yang disensitisasi. Selain menghindari pajanan dengan asap rokok, baik in utero atau setelah lahir, tidak ada bukti intervensi yang dapat mencegah perkembangan asma. Hipotesis higiene untuk mengarahkan sistem imun bayi kearah Th 1 , respons nonalergi atau modulasi sel T regulator masih merupakan hipotesis.
b.      Mencegah Eksaserbasi
Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger) seperti alergen (indoor seperti tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur, alergen outdoor seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi pajanan penderita dengan beberapa faktor seperti menghentikan merokok, menghindari asap rokok, lingkungan kerja,makanan, aditif, obat yang menimbulkan gejala dapat memperbaiki kontrol asma serta keperluan obat. Tetapi biasanya penderita bereaksi terhadap banyak faktor lingkungan sehingga usaha menghindari alergen sulit untuk dilakukan. Hal-hal lain yang harus pula dihindari adalah polutan indoor dan outdoor, makanan dan aditif, obesitas, emosi-stres dan berbagai faktor lainnya.
2.7 Penanganan dan Pengobatan Penyakit Asma
Penyakit Asma (Asthma) sampai saat ini belum dapat diobati secara tuntas, ini artinya serangan asma dapat terjadi dikemudian hari. Penanganan dan pemberian obat-obatan kepada penderita asma adalah sebagai tindakan mengatasi serangan yang timbul yang mana disesuaikan dengan tingkat keparahan dari tanda dan gejala itu sendiri. Prinsip dasar penanganan serangan asma adalah dengan pemberian obat-obatan baik suntikan (Hydrocortisone), syrup ventolin (Salbutamol) atau nebulizer (gas salbutamol) untuk membantu melonggarkan saluran pernafasan.
Pada kasus-kasus yang ringan dimana dirasakan adanya keluhan yang mengarah pada gejala serangan asma atau untuk mencegah terjadinya serangan lanjutan, maka tim kesehatan atau dokter akan memberikan obat tablet seperti Aminophylin dan Prednisolone. Bagi penderita asma, disarankan kepada mereka untuk menyediakan/menyimpan obat hirup (Ventolin Inhaler) dimanapun mereka berada yang dapat membantu melonggarkan saluran pernafasan dikala serangan terjadi. Pengobatan asthma secara garis besar dibagi dalam pengobatan non farmakologik dan pengobatan farmakologik.
1. Penobatan non farmakologik
a) Penyuluhan
Penyuluhan ini ditujukan pada peningkatan pengetahuan klien tentang penyakit asthma sehinggan klien secara sadar menghindari faktor-faktor pencetus, serta menggunakan obat secara benar dan berkonsoltasi pada tim kesehatan.
b) Menghindari faktor pencetus
Klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus serangan asthma yang ada pada lingkungannya, serta diajarkan cara menghindari dan mengurangi faktor pencetus, termasuk pemasukan cairan yang cukup bagi klien.
c) Fisioterapi
Fisioterpi dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mukus. Ini dapat dilakukan dengan drainage postural, perkusi dan fibrasi dada.
2. Pengobatan farmakologik
a) Agonis beta
Bentuk aerosol bekerja sangat cepat diberika 3-4 kali semprot dan jarak antara semprotan pertama dan kedua adalan 10 menit. Yang termasuk obat ini adalah metaproterenol ( Alupent, metrapel ).
b) Metil Xantin
Golongan metil xantin adalan aminophilin dan teopilin, obat ini diberikan bila golongan beta agonis tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pada orang dewasa diberikan 125-200 mg empatkali sehari.
c) Kortikosteroid
Jika agonis beta dan metil xantin tidak memberikan respon yang baik, harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol (beclometason dipropinate ) dengan disis 800 empat kali semprot tiap hari. Karena pemberian steroid yang lama mempunyai efek samping maka yang mendapat steroid jangka lama harus diawasi dengan ketat.
d) Kromolin
Kromolin merupakan obat pencegah asthma, khususnya anak-anak . Dosisnya berkisar 1-2 kapsul empat kali sehari.
e) Ketotifen
Efek kerja sama dengan kromolin dengan dosis 2 x 1 mg perhari. Keuntunganya dapat diberikan secara oral.
f) Iprutropioum bromide (Atroven)
Atroven adalah antikolenergik, diberikan dalam bentuk aerosol dan bersifat bronkodilator. (Evelin dan joyce L. kee, 1994 ; Karnen baratawijaja, 1994 )
3. Pengobatan selama serangan status asthmatikus
a) Infus RL : D5 = 3 : 1 tiap 24 jam
b) Pemberian oksigen 4 liter/menit melalui nasal kanul
c) Aminophilin bolus 5 mg / kg bb diberikan pelan-pelan selama 20 menit dilanjutka drip Rlatau D5 mentenence (20 tetes/menit) dengan dosis 20 mg/kg bb/24 jam.
d) Terbutalin 0,25 mg/6 jam secara sub kutan.
e) Dexamatason 10-20 mg/6jam secara intra vena.
f) Antibiotik spektrum luas.
2.8. Masalah Pengololahan Asma
Terdapat berbagai hal yang menimbulkan masalah dalam pengelolaan asma khususnya di Indonesia :
1. Pengetahuan Yang Kurang Tepat Mengenal Konsep Asma
a. Para medisi
Pengetahuan patogenesis asma yang benar bahwa peradangan bronkus sebagai faktor dasar asma belum merata, dan belum disadari bahwa mengatasi peradangan bronkus adalah tujuan utama terapi. Asma potensil untuk menjadi penyakit seumur hidup dan harus diperlakukan sebagai penyakit kronik lain seperti DM, dan hipertensi. Belum ada kerjasama berlanjut antara dokter dan pasien dalam upaya penegakan diagnosis dan terapi asma yang benar yang diikuti upaya kelola mandiri dari pasien. Usaha penyuluhan asma yang lebih baik juga masih kurang, hingga tidaklah disadari bahwa komplikasi kematian akibat asma dapat dihindari.
        b. Pasien dan masyarakat
Masyarakat masih menganggap asma penyakit tidak bisa disembuhkan, bersifat kronik dan cenderung progresif. Juga tidak mengetahui cara ataupun tidak melaksanakan pencegahan dari serangan asma di rumah. Masyarakat umumnya mempunyai pengertian yang salah tentang pemakaian inhaler. Penderita asma memiliki rasa rendah diri dengan asma yang dideritanya. Dan belum terlihat adanya usaha yang baik dalam mengontrol merokok dan menghindari alergen.
2. Cara Penegakan Diagnosis Asma
Menjadi anggapan umum bahwa diagnosis asma ditegakkan dengan adanya sesak napas dan mengi (wheezing). Sesungguhnya kriteria diagnosis yang dianjurkan adalah:
a. Anamnesis
Keterangan adanya sesak napas paroksismal yang berulang kali, mengi dan batuk (cenderung timbul pada malam dan dini hari). Gejala hilang pada saat istirahat dan remisi. Adanya faktor predisposisi atau presipitasi.
b. Pemeriksaan penunjang
Didapatkan obstruksi bronkus reversibel yang diketahui dari hasil terapi, tes bronkodilatasi atau perubahan alami; hipersensitifitas bronkus, diketahui dari peningkatan reaksi kontraksi bronkus terhadap acetylcholine, metacholin, histamin, dan lain-lain; adanya predisposisi atopik, peninggian IgE antibodi spesifik terhadap alergen lingkungan; adanya peradangan saluran napas, peningkatan eosinofil sputum, creola bodies (Miyamoyo, 1994)
3. Evaluasi Asma Pre Terapi
Jarang dikerjakan diagnosis atau evaluasi asma pre terapi lengkap sebagai dasar paket pengelolaan asma yang sistimatik dan individual. Biasanya pasien diobati hanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pengelolaan asma dalam hal ini ibarat mengobati nyeri dada sebagai suatu penyakit jantung iskemik tanpa melakukan pemeriksaan EKG. Tes faal paru khususnya tes reversibilitas perlu ditekankan sebagai pemeriksaan yang penting untuk diagnosis dan tindak lanjut pengelolaan asma. Penelitian Internasional menunjukkan bahwa di Inggris, New Zealand, dan Australia pemeriksaan pre terapi Arus Puncak Ekspitusi (APE) pada pasien asma dilaksanakan mendekati 100%, dan pengukuran rekaman rutin harian APE oleh pasien sebesar 42,1%. Penelitian asma berdasarkan laporan 1.197 dokter Asia termasuk Indonesia (7.1%) yang terdiri dari pulmonologis, internis, ahli anak dan ahli alergi mendapatkan penegakan diagnosis asma yang dilakukan di Asia (Miyamoyo, 1994).
4. Sistim Pengelolaan Asma
Menurut Sheffer (1992) pengelolaan asma belum menyeluruh terhadap berbagai aspeknya secara sistimatik dan kontinyu. Terapi belum tuntas dan umumnya baru ditujukan untuk mengatasi gejala asmanya saja. Pengelolaan secara sistimatis seharusnya mencakup:
a. Penegakan diagnosis lengkap, tingkat beratnya asma, faktor pencetus dan presipitasi.
b. Kerjasama yang kontinyu antara dokter (klinik/RS) dengan pasien dan lingkungannya (dirumah dan tempat kerja).
  c. Upaya mengatasi bronkospasme/serangan dan terapi pencegahan di klinik/RS dan dirumah, pencegahan serangan dengan mengatasi faktor trigger dan inducer.
  d. Pilihan obat yang tepat berupa suatu sistim dengan pemilihan steroid sebagai terapi asmautama yang ditujukan untuk mengatasi inflamasi pada semua tingkat asma, kecuali yang paling ringan. Pada waktu ini disarankan terapi asma sebagai berikut: jenisnya adalah CBA (corticosteroid, b2 agonis, aminofilin), terpilih dalam bentuk obat inhalasi, dengan dosis yang adekuat secarateratur, bila perlu kontinyu.
e. Tersedia pedoman tartans bagi pasien untuk pelaksanaan di rumah: membiasakan tindak lanjut dengan pengukuran APE (menggunakan Peak Flow Rate Meter), melaksanakan usaha rehabilitasi atau preventif.
f. Upaya pengelolaan asma yang dilakukan secara gigih dan teratur
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
·      asma didefinisikan secara deskripsi yaitu penyakit inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan, dengan gejala episodik berulang berupa batuk, sesak napas, mengi dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari, yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan.
·      Keluhan utama penderita asma adalah sesak nafas mendadak disertai inspirasi yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi dan diikuti oleh bunyi mengi (wheezing), batuk yang disertai serangan sesak nafas yang kumat-kumatan. Pada beberapa penderita asma keluhan tersebut dapat menjadi ringan, sedang atau berat serta sesak nafas penderita timbul secara mendadak, dirasakan makin lama makin meningkat atau tiba-tiba menjadi berat.
·      Problema yang biasanya ditemukan pada kasus asma bronchiale adalah : sesak nafas (biasanya timbul pada saat pasien kedinginan, dan alergi pada debu), batuk berdahak, dan dahak sulit untuk dikeluarkan
·      Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa derajat berat asma persisten dapat berkurang atau bertambah. Derajat gejala eksaserbasi atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat sebelumnya.
·      Penyakit Asma (Asthma) sampai saat ini belum dapat diobati secara tuntas, ini artinya serangan asma dapat terjadi dikemudian hari. Penanganan dan pemberian obat-obatan kepada penderita asma adalah sebagai tindakan mengatasi serangan yang timbul yang mana disesuaikan dengan tingkat keparahan dari tanda dan gejala itu sendiri.
3.2 Saran
Penulis mengharapkan semoga makalah kami dapat bermanfaat bagi kita semua dan bernilai pahala disisi-NYA, Amin.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen serta teman-teman yang membantu untuk meenyelesaikan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for ashtma management and prevention. Updated 2011. Cape Town: University of Cape Town Lung Institute; 2011.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Vital signs: asthma prevalence, disease characteristic, and self-management education -United States, 2001 - 2009. Morbidity and Mortality Weekly Report. 2011; 60(17): 547-52.
Depkes RI. Riset kesehatan dasar. RISKESDAS 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan, Republik Indonesia; 2008. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Asma. Pedoman diagnosis & penatalaksanaan  di  Indonesia  (diunduh  9Desember  2011).  Tersedia  dari:  URL: HYPERLINK
Holgate ST, The bronchial epithelial origins of asthma in immunological mechanisms in asthma and allergic disease. Robinson DS (ed), S. Karger AG, Basel, Switzerland, 2000.62-71.
Gotzsche CP. House dust mite control measures for asthma: systematic review in European Journal of Allergy and Chronic Urticaria.volume 63,646.
Eapen SS, Busse WW. Asthma in inflammatory mechanisms in allergic diseases. In: Zweiman B, Schwartz LB.editors.USA: Marcel Dekker; 2002.p.325-54.
Michel FB. Neukirch F. Housyuel J. (1995). Asthma: a world problem of public health. Bull Acad Natl Med
Miyamoyo T, Mikawa H. (1994). Asthma management In Asia. The 8th Allergy and Respiratory Diseases Conference. Life Science Medica Co, Ltd. Marc
Santosa Giriwijoyo dan Muchtamadji M. Ali. (2006). Ilmu Faal Olahraga Fungsi Tubuh Manusia pada Olahraga. Bandung: Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan UPI.
Sheffer AL. (1992). International consensus Report on Diagnosis and management of Astma. US
Departement of Health and Human Services. Clinical and Experimental Allergy, Vol. 2. Suppl. I.
Soena Stxmantri ES.(1995). Epidemiologi asma di Indonesia. Buku Makalah Lengkap Penemuan
Ilmiah Recent Advances In Respiratory Medicine. Konkemas Perkumpulan Dokter Paru Indonesia
Sri Astuti Suparmanto. (1994). Dirjen Pelayanan Medik (Yanmed) Departemen Kesehatan. Jakarta.
Basuky, Physio Nur, “ Anatomi Terapan Sistem Respirasi”,  Poloteknik  Kesehatan
Surakarta Jurusan Fisioterapi, Hal 59-65, Surakarta, 2007.
Brunner & Suddart, “Keperawatan Medikal Bedah” Edisi 8 Vol 1.
Chung KF, Pavord ID, “Prevalence, pathogenesis, and causes of chronic cough”, Lancet 371, Hal 64–74, 2008.
Taufik, Yunus F, Nawas A, Mangunnegoro H. Kematian pada asma bronkial. J Respir Indo 1999;19: 119-24.
Supartini N, Santoso DI, Kardjito T. Konsep baru patogenesis asma bronkial. J Respir Indo 1995;15:156-62.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar