BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asma merupakan penyakit saluran napas yang ditandai oleh
penyempitan bronkus akibat adanya hiper reaksi terhadap sesuatu perangsangan
langsung/fisik ataupun tidak langsung. Tanpa pengelolaan yang baik asma akan
mengganggu kehidupan penderita dan akan cenderung mengalami peningkatan,
sehingga dapat menimbulkan komplikasi ataupun kematian. Walaupun
asma merupakan penyakit yang dikenal luas di masyarakat namun kurang
dipahami semestinya
hingga timbul anggapan dari sebagian dokter dan masyarakat bahwa asma
merupakan penyakit
yang sederhana serta mudah diobati. Sehingga timbul kebiasaan untuk
mengatasi gejala asma hanya terhadap gejala sesak napas dan mengi dengan pemakaian
obat-obatan dan bukannya mengelola asma secara lengkap.
Menurut Sri Astuti Suparmanto (1994) mengatakan
prevalensi asma pada anak Indonesia cukup tinggi. Meski demikian pemerintah
belum memiliki data yang rinci untuk tiap wilayah. Hanya memiliki data pada
anak sekolah di beberapa kota besar seperti Medan, Palembang, Jakarta, Bandung,
Semarang, Yogyakarta dan Denpasar. Prevalensi pada anak SD berkisar antara 3,7%-16,4%
sedangkan pada anak SMP di Jakarta 5,8%. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 1996, penyakit-penyakit yang menyebabkan sesak napas seperti bronchitis,
emfisema dan asma merupakan penyebab kematian ke-7 di Indonesia. WHO memperkirakan
antara 100-150 juta penduduk di dunia penyandang asma dan diperkirakan jumlahnya
terus bertambah sekitar 180.000 setiap tahunnya. Asma terdapat dan tersebar di seluruh
tempat di dunia dengan kekerapan bervariasi. Kekerapan yang paling tinggi
ditemukan di
negara-negara Anglo-Saxon yakni 17-20%. Di Indonesia belum ada survei
nasional, tetapi penelitian yang dilakukan oleh beberapa institusi menunjukkan
kekerapan antara 2-7% (Van, 2004).
Akhir-akhir ini dilaporkan adanya peningkatan prevalensi
morbiditas dan moratitas asma di seluruh dunia terutama di daerah perkotaan dan
industri. Disebabkan penderita asma ringan dan periodik tidak menyadari
mengidap asma dan menduganya sebagai penyakit pernapasan lain atau batuk biasa.
Gangguan batuk dan sesak dialami bila ada rangsangan seperti angin malam yang
dingin, flu atau iritasi bahan polutif seperti rokok atau asap hingga diduganya
semata-mata terjadi akibat rangsangan tersebut. Pemikiran timbul bila napas
telah berbunyi atau mengi dan mengganggu kegiatan sehari-hari. Padahal pada
saat tersebut mungkin telah terdapat gangguan lanjut berupa emfisema yang
merupakan gangguan faal paru hingga perlu menggunakan obat asma secara
kontinyu.
Prevalensi yang tinggi menunjukkan bahwa pengelolaan asma
belum berhasil. Berbagai faktor menjadi sebab dari keadaan yaitu berbagai
kekurangan dalam hal pengetahuan tentang asma, kelaziman melakukan diagnosis
yang lengkap atau evaluasi pre terapi, sistimatika dan pelaksanaan pengelolaan,
upaya pencegahan dan penyuluhan dalam pengelolaan asma. Mengingat hal tersebut
pengelolaan asma yang terbaik haruslah dilakukan pada saat dini dengan
berbagai tindakan pencegahan agar penderita tidak mengalami serangan asma.
Untuk meningkatkan pengelolaan asma yang baik hal-hal tersebut harus dipahami
dan dicarikan pemecahannya (Zul Dahlan, 2005).
Untuk itulah senam pernapasan didirikan dapat memberikan
pelayanan, pendidikan dan pelatihan senam penyembuhan dengan pola olah napas, olah
gerak, dan olah batin serta pemanfaatan energi kehidupan untuk kesembuhan orang
lain. Sumber energi utama yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia adalah
udara/oksigen, sebab tanpa oksigen manusia pasti mati. Energi tidak dapat
diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Energi hanya bisa dirubah dari bentuk
satu kebentuk yang lain. Energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja, (O 2 + Karbohidrat
+ Lemak – Sistem Metabolisme – ATP = Energi = Kerja). Dari hukum-hukum tersebut
di tambah kajian ilmu olahraga maka dapat diseimpulkan bahwa ilmu olah
pernapasan adalah suatu tata cara mengatur sistem pernapasan dengan disertai
tata konsentrasi, tata gerak, fisik untuk mengubah energi udara menjadi energi
tertentu yang bermanfaat. Dengan suatu metode yang tepat dan benar energi udara
dapat diubah menjadi energi kesehatan, penyembuhan, daya tahan, peningkatan
vitalitas kerja, konsentrasi dan kekuatan batin, tenaga dalam dan fungsi pernapasan
(Santosa Giriwijoyo, 2006)
Fungsi senam pernapasan dapat memberikan manfaat yang
lebih besar, aman, nyaman dan memperbaiki kualitas hidup seluruh penderita asma
karena senam pernapasan merupakan suatu bentuk olahraga yang gerakannya tidak
begitu berat (relaks), tapi dapat menyebabkan energi atau tenaga banyak
berkurang. Senam pernapasan merupakan olahraga yang intensitas dan frekuensinya
yang tepat bagi penderita asma sehingga dengan latihan olahraga senam
pernapasan
diharapkan dapat bermanfaat untuk mengendalikan dan mengurangi kambuhnya
serangan asma.
1.2 Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Asma
Asma didefinisikan menurut ciri-ciri
klinis, fisiologis dan patologis. Ciri-ciri klinis yang dominan adalah riwayat
episode sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai batuk. Pada
pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-ciri utama
fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan
arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah
inflamasi saluran napas yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran
napas. Asma dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan lingkungan, mengingat
patogenesisnya tidak jelas, asma didefinisikan secara deskripsi yaitu penyakit
inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap
berbagai rangsangan, dengan gejala episodik berulang berupa batuk, sesak napas,
mengi dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari, yang
umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan. Karena dasar
penyakit asma adalah inflamasi, maka obat-obat antiinflamasi berguna untuk
mengurangi reaksi inflamasi pada saluran napas. Kortikosteroid merupakan obat antiinflamasi
yang paten dan banyak digunakan dalam penatalaksanaan asma. Obat ini dapat
diberikan secara oral, inhalasi maupun sistemik.
2.2 Tanda dan Gejala
Penyakit asma mempunyai
manifestasi fisiologis berbentuk penyempitan yang meluas pada saluran pernafasan
yang dapat sembuh spontan atau sembuh dengan terapi. Penyakit ini bersifat episodik
dengan eksaserbasi akut yang diselingi oleh periode tanpa gejala. Keluhan utama
penderita asma adalah sesak nafas mendadak disertai inspirasi yang lebih pendek
dibandingkan dengan fase ekspirasi dan diikuti oleh bunyi mengi (wheezing), batuk
yang disertai serangan sesak nafas yang kumat-kumatan. Pada beberapa penderita
asma keluhan tersebut dapat menjadi ringan, sedang atau berat serta sesak nafas
penderita timbul secara mendadak, dirasakan makin lama makin meningkat atau
tiba-tiba menjadi berat. Hal ini sering terjadi terutama pada penderita dengan
bronkhitis alergika atau radang saluran nafas bagian atas. Sedangkan pada
sebagian besar penderita keluhan utama ialah sukar bernafas disertai rasa tidak
enak didaerah retrosternal.
2.3 Problematika Fisioterapi
Problema yang biasanya
ditemukan pada kasus asma bronchiale adalah : sesak nafas (biasanya timbul pada saat pasien kedinginan, dan alergi pada debu), batuk berdahak, dan dahak sulit untuk dikeluarkan.
2.3.1.
Sesak Nafas
Sesak nafas adalah
keluhan yang menunjukan adanya gangguan pada penyakit respirasi.
a. Faktor pencetus sesak nafas
b. Faktor peningkatan kerja pernafasan, dibagi menjadi
dua yaitu :
1). Peningkatan ventilasi (Latihan jasmani,
Hiperkapnia, Hipoksia, Asidosis metabolic).
2). Sifat-sifat yang berubah, diantaranya :
(a)
Tahanan elastis paru meningkat misalnya pada pneumonia, atelektasis, kongesti,
pneumothoraks, danefusi pleura.
(b) Tahanan elastis dinding thoraks meningkat,
misalnya pada obesitas dankifoskoliosis.
(c) Peningkatan tahanan bronchial selain dari
tahanan elastis.Dapat dijumpai pada penyakit emfisema, bronchitis, dan asma
bronchiale.
c. Otot-otot
pernafasan yang abnormal,yaitu:
1) Penyakit otot diantaranya: a) Kelemahan otot,
misalnya pada miastenia gravis Perbedaan Postural Drainage Dan Latihan Batuk
Efektif Pada Intervensi Nabulizer Terhadap Penurunan Frekuensi Batuk Pada Asma
Bronchiale Anak Usia 3-5 Tahun Jurnal Fisioterapi Volume 13 Nomor 1 , April
2013 dan tiroktosikosis. b) Kelumpuhan otot, misalnya pada poliomyelitis dan
sindrom Guil lain Barre. c) Otot yang mengalami distrofi.
2). Fungsi mekanik otot diantaranya :
a) Fungsi mekanis
berkurang pada fase inspirasi, misalnya pada emfisema.
b) Fungsi mekanis otot
berkurang pada fase ekspirasi, misalnya pada penderita obesitas.
2.3.2.
Klasifikasi Sesak Nafas
Sesuai dengan
berat-ringannya keluhan, sesak nafas dapat dibagi memjadi lima tingkat dengan
penjelasan sebagai berikut :
a). Tingkat I
Tidak ada hambatan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
Sesak terjadi pada saat sedang melakukan aktifitas jasmani yang lebih berat
dari biasanya.Penderita dapat melakukan aktifitas sehari-hari dengan baik.
b). Tingkat II
Tidak ada hambatan aktifitas yang biasa dilakukan pada
kehidupan sehari-hari. Sesak timbul bila aktifitas yang lebih berat (naik tangga
atau mendaki), tetapi bila berjalan di jalan datar tidak terasa sesak. Sebaiknya
penderita bekerja di kantor/tempat yang tidak memerlukan tenaga terlalu banyak
atau pada pekerjaan yang tidak berpindah-pindah.
c). Tingkat III
Sesak sudah terjadi bila penderita melakukan aktifitas
sehari-hari (mandi, berpakaian, dll) tetapi penderita masih dapat melakukan aktifitas
sehari-hari tanpa bantuan orang lain. Sesak tidak timbul saat istirahat,
penderita juga masih mampu berjalan-jalan ke daerah sekitar, walaupun tidak
sebaik orang sehat seumurnya. Lebih baik penderita tidak bekerja lagi,
mengingat penyakit cukup berat.
d). Tingkat IV
Sesak sudah terjadi bila penderita melakukan aktifitas
sehari-hari (mandi, berpakaian, dll) sehingga membutuhkan bantuan orang lain
pada waktu melakukan kegiatan sehari-hari. Sesak tidak timbul pada waktu penderita
istirahat, tapi mulai timbul pada waktu pekerjaan ringan sehingga penderita
perlu istirahat sebentar. Pekerjaan sehari-hari tidak dapat dilakukan dengan
leluasa.
e). Tingkat V
Penderita harus membatasi diri
dalam segala aktivitas sehari-hari yang biasa dilakukan rutin. Keterbatasan ini
menyebabkan penderita lebih banyak berada ditempat tidur atau hanya duduk di kursi.
Untuk memenuhi segala kebutuhannya penderita sangat tergantung pada bantuan
orang lain.
2.3.3.
Batuk
Batuk dalam bahasa latin
disebut tussis adalah refleks yang dapat
terjadi secara tiba-tiba dan sering berulang-ulang yang bertujuan untuk membantu
membersihkan saluran pernapasan dari lendir besar, iritasi, partikel asing dan
mikroba. Batuk dapat terjadi secara sengaja maupun tanpa disengaja.Batuk merupakan
suatu tindakan refleks pada saluran pernafasan
yang digunakan untuk
membersihkan saluran udara atas.Salah satunya untuk mengeluarkan
sputum.Sputum adalah zat mucousy (terdiri dari sel-sel dan materi lainnya) yang
disekresikan ke dalam saluran udara dari saluran pernapasan. Sputum tidak sama
dengan air liur, air liur merupakan suatu zat yang disekresi dalam mulut untuk
membantu pencernaan. (Goldsobel, 2010)
2.3.4.
Mekanisme batuk
Pada dasarnya mekanisme batuk
dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase inspirasi, fase kompresi dan fase
ekspirasi (literatur lain membagi fase batuk menjadi 4 fase yaitu fase iritasi,
inspirasi, kompresi, dan ekspulsi). Batuk biasanya bermula dari inhalasi
sejumlah udara, kemudian glotis akan menutup dan tekanan di dalam paru akan
meningkat yang akhirnya diikuti dengan pembukaan glotis secara tiba-tiba dan
ekspirasi sejumlah udara dalam kecepatan tertentu. Fase inspirasi dimulai
dengan inspirasi singkat dan cepat dari sejumlah besar udara, pada saat ini glotis
secara refleks sudah terbuka. Volume udara yang diinspirasi sangat bervariasi
jumlahnya, berkisar antara 200 sampai 3500 ml di atas kapasitas residu
fungsional. Penelitian lain menyebutkan jumlah udara yang dihisap berkisar
antara 50% dari tidal volume sampai 50%
dari kapasitas vital. Ada dua manfaat utama dihisapnya sejumlah besar volume ini.
Pertama, volume yang besar akan memperkuat fase ekspirasi nantinya dan dapat menghasilkan
ekspirasi yang lebih cepat dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume yang besar akan
memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga pengeluaran sekret akan lebih
mudah. Setelah udara di inspirasi, maka mulailah fase kompresi dimana glotis
akan tertutup selama 0,2 detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan abdomen akan
meningkat 50-100 mmHg. Tertutupnya glotis merupakan ciri khas batuk, yang
membedakannya dengan manuver ekspirasi paksa lain karena akan menghasilkan tenaga
yang berbeda. Tekanan yang didapatkan bila glotis tertutup adalah 10 sampai
100% lebih besar daripada cara ekspirasi paksa yang lain. Di pihak lain, batuk
juga dapat terjadi tanpa penutupan glotis.
Fase Batuk Kemudian, secara
aktif glotis akan terbuka dan berlangsunglah fase ekspirasi. Udara akan keluar
dan menggetarkan jaringan saluran napas serta udara yang ada sehingga menimbulkan
suara batuk yang kita kenal. Arus udara ekspirasi yang maksimal akan tercapai dalam
waktu 3050 detik setelah glotis terbuka, yang kemudian diikuti dengan arus yang
menetap. Kecepatan udara yang dihasilkan dapat mencapai 16.000 sampai 24.000 cm
per menit, dan pada fase ini dapat dijumpai pengurangan diameter trakea sampai
80%. Frekuensi batuk dipengaruhi oleh hipersekresi sehingga produksi mucus berlebih,
penumpukan mucus menyebabkan lemah fungsi silia, ventilasi paru rendah menyebabkan
terjadinya obstruksi, daya tahan tubuh turun.
2.3.5.
Dahak
Sputum adalah zat mucousy
(terdiri dari sel-sel dan materi lainnya) yang disekresikan ke dalam saluran
udara dari saluran pernapasan. Sputum tidak sama dengan air liur, air liur merupakan
suatu zat yang disekresi dalam mulut untuk membantu pencernaan. Anak-anak pada
umumnya belum bisa mengeluarkan dahag atau sputum dengan sendiri oleh sebab itu
untuk mempermudah hal tersebut dapat dibantu dengan terapi inhalasi yang
merupakan pemberian obat secara langsung ke dalam saluran napas melalui penghisapan.
Terapi pemberian ini, saat ini makin berkembang luas dan banyak dipakai pada pengobatan
penyakit-penyakit saluran napas. Berbagai
macam obat seperti
antibiotik, mukolitik, anti inflamasi dan bronkodilator sering digunakan
pada terapi inhalasi.
2.3.6.
Wheezing
Merupakan suara yang terdengar pada saat ekspirasi,
disebabkan oleh penyumbatan jalan nafas yang disebabkan oleh penyempitan pada
bronchial lumen, bronchospasme, dan oedem pada bronchial mukosa atau sekresi
yang berlebih. Wheezing sendiri terdiri dari beberapa derajat, yaitu :
(1) Ringan, wheezing terdengar pada
saat akhir ekspirasi atau bahkan saat ekspirasi paksa.
(2) Sedang, wheezing terdengar pada pertengahan
sampai akhir ekspirasi.
(3) Berat, whezzing terdengar
sepanjang ekspirasi atau bahkan terdengar saat inspirasi.
2.4 Faktor Risiko Asma
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik
dan faktor lingkungan.
2.4.1.
Faktor Genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah
bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita
dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi.
Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial
jika terpajan dengan faktor pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen
maupun iritan.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia
14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada
masa menopause perempuan lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas
Obesitas atau
peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko asma. Mediator
tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat
badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru,
morbiditas dan status kesehatan.
2.4.2.
Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau
debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing,
dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk
sari, dan spora jamur).
2.4.3.
Faktor lain
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah,
coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya,
eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.
d. Ekspresi emosi berlebih
Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,
selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping
gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stres/gangguan
emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika
stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati.
e. Asap rokok bagi perokok
aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru.
Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek
berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala
serupa asma pada usia dini.
f. Polusi udara dari luar dan
dalam ruangan
g. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga
tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas
jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan
asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai
aktivitas tersebut.
h. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan
asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan,
musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan).
i. Status ekonomi
2.5. Klasifikasi Asma
Sebenarnya
derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa derajat berat asma
persisten dapat berkurang atau bertambah. Derajat gejala eksaserbasi atau serangan
asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat sebelumnya.
Klasifikasi Menurut Etiologi
Banyak
usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etiologi, terutama dengan
bahan lingkungan yang mensensititasi. Namun hal itu sulit dilakukan antara lain
oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui.
Klasifikasi Menurut Derajat Berat Asma
Klasifikasi
asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan obat yang diperlukan pada
awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma diklasifikasikan sebagai intermiten,
persisten ringan, persisten sedang dan persisten berat.
Klasifikasi Menurut Kontrol Asma
Kontrol
asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya, istilah kontrol
menunjukkan penyakit yang tercegah atau bahkan sembuh. Namun pada asma, hal itu
tidak realistis; maksud kontrol adalah kontrol manifestasi penyakit. Kontrol
yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan. Tujuan pengobatan adalah
memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan pemberian obat
yang aman, dan tanpa efek samping.
Klasifikasi Asma Berdasarkan Gejala
Asma
dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan. Tidak
ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu
penyakit, pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk mengklasifikasi
penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi itu sangat penting untuk penatalaksanaan
asma. Berat ringan asma ditentukan oleh berbagai faktor seperti gambaran klinis
sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat
inhalasi β-2 agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk
mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Asma
dapat diklasifikasikan menjadi intermiten, persisten ringan, persisten sedang,
dan persisten berat.
Selain
klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan
sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya serangan.
Global Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan asma
berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan
laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan.
Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma serangan sedang, dan asma
serangan berat. Dalam hal ini perlu adanya pembedaan antara asma kronik dengan
serangan asma akut. Dalam melakukan penilaian berat ringannya serangan asma,
tidak harus lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan
sebagai prediksi dalam menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan
dengan keterbatasan yang ada.
2.6 Pencegahan
a. Mencegah Sensititasi
Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi
alergi (terjadinya atopi, diduga paling relevan pada masa prenatal dan
perinatal) atau pencegahan terjadinya asma pada individu yang disensitisasi.
Selain menghindari pajanan dengan asap rokok, baik in utero atau setelah lahir,
tidak ada bukti intervensi yang dapat mencegah perkembangan asma. Hipotesis
higiene untuk mengarahkan sistem imun bayi kearah Th 1 , respons nonalergi atau
modulasi sel T regulator masih merupakan hipotesis.
b. Mencegah Eksaserbasi
Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger)
seperti alergen (indoor seperti tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan
jamur, alergen outdoor seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat.
Mengurangi pajanan penderita dengan beberapa faktor seperti menghentikan
merokok, menghindari asap rokok, lingkungan kerja,makanan, aditif, obat yang
menimbulkan gejala dapat memperbaiki kontrol asma serta keperluan obat. Tetapi
biasanya penderita bereaksi terhadap banyak faktor lingkungan sehingga usaha
menghindari alergen sulit untuk dilakukan. Hal-hal lain yang harus pula
dihindari adalah polutan indoor dan outdoor, makanan dan aditif, obesitas,
emosi-stres dan berbagai faktor lainnya.
2.7 Penanganan dan Pengobatan
Penyakit Asma
Penyakit Asma (Asthma) sampai saat ini belum dapat diobati
secara tuntas, ini artinya serangan asma dapat terjadi dikemudian hari.
Penanganan dan pemberian obat-obatan kepada penderita asma adalah sebagai
tindakan mengatasi serangan yang timbul yang mana disesuaikan dengan tingkat
keparahan dari tanda dan gejala itu sendiri. Prinsip dasar penanganan serangan
asma adalah dengan pemberian obat-obatan baik suntikan (Hydrocortisone), syrup
ventolin (Salbutamol) atau nebulizer (gas salbutamol) untuk membantu
melonggarkan saluran pernafasan.
Pada kasus-kasus yang ringan dimana dirasakan adanya
keluhan yang mengarah pada gejala serangan asma atau untuk mencegah terjadinya
serangan lanjutan, maka tim kesehatan atau dokter akan memberikan obat tablet
seperti Aminophylin dan Prednisolone. Bagi penderita asma, disarankan kepada
mereka untuk menyediakan/menyimpan obat hirup (Ventolin Inhaler) dimanapun
mereka berada yang dapat membantu melonggarkan saluran pernafasan dikala
serangan terjadi. Pengobatan asthma secara garis besar dibagi dalam pengobatan
non farmakologik dan pengobatan farmakologik.
1. Penobatan non farmakologik
a) Penyuluhan
Penyuluhan ini ditujukan pada
peningkatan pengetahuan klien tentang penyakit asthma sehinggan klien secara
sadar menghindari faktor-faktor pencetus, serta menggunakan obat secara benar
dan berkonsoltasi pada tim kesehatan.
b) Menghindari faktor pencetus
Klien perlu dibantu
mengidentifikasi pencetus serangan asthma yang ada pada lingkungannya, serta
diajarkan cara menghindari dan mengurangi faktor pencetus, termasuk pemasukan
cairan yang cukup bagi klien.
c) Fisioterapi
Fisioterpi dapat digunakan
untuk mempermudah pengeluaran mukus. Ini dapat dilakukan dengan drainage postural,
perkusi dan fibrasi dada.
2. Pengobatan farmakologik
a) Agonis beta
Bentuk aerosol bekerja sangat
cepat diberika 3-4 kali semprot dan jarak antara semprotan pertama dan kedua
adalan 10 menit. Yang termasuk obat ini adalah metaproterenol ( Alupent, metrapel
).
b) Metil Xantin
Golongan metil xantin adalan
aminophilin dan teopilin, obat ini diberikan bila golongan beta agonis tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Pada orang dewasa diberikan 125-200 mg
empatkali sehari.
c) Kortikosteroid
Jika agonis
beta dan metil xantin tidak memberikan respon yang baik, harus diberikan
kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol (beclometason dipropinate ) dengan
disis 800 empat kali semprot tiap hari. Karena pemberian steroid yang lama
mempunyai efek samping maka yang mendapat steroid jangka lama harus diawasi
dengan ketat.
d) Kromolin
Kromolin merupakan obat pencegah asthma, khususnya
anak-anak . Dosisnya berkisar 1-2 kapsul empat kali sehari.
e) Ketotifen
Efek kerja sama dengan kromolin dengan dosis 2 x 1 mg
perhari. Keuntunganya dapat diberikan secara oral.
f) Iprutropioum bromide (Atroven)
Atroven adalah
antikolenergik, diberikan dalam bentuk aerosol dan bersifat bronkodilator. (Evelin
dan joyce L. kee, 1994 ; Karnen baratawijaja, 1994 )
3. Pengobatan selama serangan status asthmatikus
a) Infus RL : D5 = 3 : 1 tiap 24 jam
b) Pemberian oksigen 4 liter/menit melalui nasal kanul
c) Aminophilin bolus 5 mg / kg
bb diberikan pelan-pelan selama 20 menit dilanjutka drip Rlatau D5 mentenence (20
tetes/menit) dengan dosis 20 mg/kg bb/24 jam.
d) Terbutalin 0,25 mg/6 jam secara sub kutan.
e) Dexamatason 10-20 mg/6jam secara intra vena.
f) Antibiotik spektrum luas.
2.8. Masalah Pengololahan Asma
Terdapat berbagai hal yang menimbulkan masalah dalam
pengelolaan asma khususnya di Indonesia :
1. Pengetahuan Yang Kurang Tepat Mengenal Konsep Asma
a. Para medisi
Pengetahuan patogenesis asma
yang benar bahwa peradangan bronkus sebagai faktor dasar asma belum merata, dan
belum disadari bahwa mengatasi peradangan bronkus adalah tujuan utama terapi.
Asma potensil untuk menjadi penyakit seumur hidup dan harus diperlakukan
sebagai penyakit kronik lain seperti DM, dan hipertensi. Belum ada kerjasama
berlanjut antara dokter dan pasien dalam upaya penegakan diagnosis dan terapi asma
yang benar yang diikuti upaya kelola mandiri dari pasien. Usaha penyuluhan asma
yang lebih baik juga masih kurang, hingga tidaklah disadari bahwa komplikasi
kematian akibat asma dapat dihindari.
b. Pasien dan
masyarakat
Masyarakat masih menganggap
asma penyakit tidak bisa disembuhkan, bersifat kronik dan cenderung progresif.
Juga tidak mengetahui cara ataupun tidak melaksanakan pencegahan dari serangan
asma di rumah. Masyarakat umumnya mempunyai pengertian yang salah tentang
pemakaian inhaler. Penderita asma memiliki rasa rendah diri dengan asma yang
dideritanya. Dan belum terlihat adanya usaha yang baik dalam mengontrol merokok
dan menghindari alergen.
2. Cara Penegakan Diagnosis Asma
Menjadi anggapan umum bahwa
diagnosis asma ditegakkan dengan adanya sesak napas dan mengi (wheezing).
Sesungguhnya kriteria diagnosis yang dianjurkan adalah:
a. Anamnesis
Keterangan adanya sesak napas
paroksismal yang berulang kali, mengi dan batuk (cenderung timbul pada malam
dan dini hari). Gejala hilang pada saat istirahat dan remisi. Adanya faktor
predisposisi atau presipitasi.
b. Pemeriksaan penunjang
Didapatkan obstruksi bronkus
reversibel yang diketahui dari hasil terapi, tes bronkodilatasi atau perubahan
alami; hipersensitifitas bronkus, diketahui dari peningkatan reaksi kontraksi
bronkus terhadap acetylcholine, metacholin, histamin, dan lain-lain; adanya
predisposisi atopik, peninggian IgE antibodi spesifik terhadap alergen lingkungan;
adanya peradangan saluran napas, peningkatan eosinofil sputum, creola bodies
(Miyamoyo, 1994)
3. Evaluasi Asma Pre Terapi
Jarang dikerjakan diagnosis
atau evaluasi asma pre terapi lengkap sebagai dasar paket pengelolaan asma yang
sistimatik dan individual. Biasanya pasien diobati hanya berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Pengelolaan asma dalam hal ini ibarat mengobati nyeri dada
sebagai suatu penyakit jantung iskemik tanpa melakukan pemeriksaan EKG. Tes
faal paru khususnya tes reversibilitas perlu ditekankan sebagai pemeriksaan
yang penting untuk diagnosis dan tindak lanjut pengelolaan asma. Penelitian
Internasional menunjukkan bahwa di Inggris, New Zealand, dan Australia pemeriksaan
pre terapi Arus Puncak Ekspitusi (APE) pada pasien asma dilaksanakan mendekati
100%, dan pengukuran rekaman rutin harian APE oleh pasien sebesar 42,1%. Penelitian
asma berdasarkan laporan 1.197 dokter Asia termasuk Indonesia (7.1%) yang terdiri
dari pulmonologis, internis, ahli anak dan ahli alergi mendapatkan penegakan diagnosis
asma yang dilakukan di Asia (Miyamoyo, 1994).
4. Sistim Pengelolaan Asma
Menurut Sheffer (1992)
pengelolaan asma belum menyeluruh terhadap berbagai aspeknya secara sistimatik
dan kontinyu. Terapi belum tuntas dan umumnya baru ditujukan untuk mengatasi
gejala asmanya saja. Pengelolaan secara sistimatis seharusnya mencakup:
a. Penegakan diagnosis lengkap, tingkat beratnya asma,
faktor pencetus dan presipitasi.
b. Kerjasama yang kontinyu
antara dokter (klinik/RS) dengan pasien dan lingkungannya (dirumah dan tempat
kerja).
c. Upaya
mengatasi bronkospasme/serangan dan terapi pencegahan di klinik/RS dan dirumah,
pencegahan serangan dengan mengatasi faktor trigger dan inducer.
d. Pilihan obat yang tepat berupa suatu
sistim dengan pemilihan steroid sebagai terapi asmautama yang ditujukan untuk
mengatasi inflamasi pada semua tingkat asma, kecuali yang paling ringan. Pada
waktu ini disarankan terapi asma sebagai berikut: jenisnya adalah CBA
(corticosteroid, b2 agonis, aminofilin), terpilih dalam bentuk obat inhalasi,
dengan dosis yang adekuat secarateratur, bila perlu kontinyu.
e. Tersedia pedoman tartans
bagi pasien untuk pelaksanaan di rumah: membiasakan tindak lanjut dengan
pengukuran APE (menggunakan Peak Flow Rate Meter), melaksanakan usaha
rehabilitasi atau preventif.
f. Upaya pengelolaan asma yang dilakukan secara gigih dan
teratur
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
· asma didefinisikan secara deskripsi yaitu penyakit
inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap
berbagai rangsangan, dengan gejala episodik berulang berupa batuk, sesak napas,
mengi dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari, yang
umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan.
· Keluhan utama penderita asma adalah sesak nafas mendadak
disertai inspirasi yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi dan
diikuti oleh bunyi mengi (wheezing), batuk yang disertai serangan sesak nafas
yang kumat-kumatan. Pada beberapa penderita asma keluhan tersebut dapat menjadi
ringan, sedang atau berat serta sesak nafas penderita timbul secara mendadak,
dirasakan makin lama makin meningkat atau tiba-tiba menjadi berat.
· Problema yang biasanya ditemukan pada kasus asma
bronchiale adalah : sesak nafas (biasanya
timbul pada saat pasien kedinginan, dan
alergi pada debu), batuk berdahak, dan dahak
sulit untuk dikeluarkan
· Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang
berarti bahwa derajat berat asma persisten dapat berkurang atau bertambah. Derajat
gejala eksaserbasi atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung
dari derajat sebelumnya.
· Penyakit Asma (Asthma) sampai saat ini belum dapat diobati
secara tuntas, ini artinya serangan asma dapat terjadi dikemudian hari.
Penanganan dan pemberian obat-obatan kepada penderita asma adalah sebagai
tindakan mengatasi serangan yang timbul yang mana disesuaikan dengan tingkat
keparahan dari tanda dan gejala itu sendiri.
3.2 Saran
Penulis mengharapkan
semoga makalah kami dapat bermanfaat bagi kita semua dan bernilai pahala
disisi-NYA, Amin.
Penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada dosen serta teman-teman yang membantu untuk
meenyelesaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for ashtma management
and prevention. Updated 2011. Cape Town: University of Cape Town Lung
Institute; 2011.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Vital signs: asthma
prevalence, disease characteristic, and self-management education -United
States, 2001 - 2009. Morbidity and Mortality Weekly Report. 2011; 60(17):
547-52.
Depkes RI. Riset kesehatan dasar. RISKESDAS 2007. Jakarta: Departemen
Kesehatan, Republik Indonesia; 2008. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI).
Asma. Pedoman diagnosis & penatalaksanaan
di Indonesia (diunduh
9Desember 2011). Tersedia
dari: URL: HYPERLINK
Holgate ST, The bronchial epithelial origins of asthma in immunological
mechanisms in asthma and allergic disease. Robinson DS (ed), S. Karger AG,
Basel, Switzerland, 2000.62-71.
Gotzsche CP. House dust mite control measures for asthma: systematic review
in European Journal of Allergy and Chronic Urticaria.volume 63,646.
Eapen SS, Busse WW. Asthma in inflammatory mechanisms in allergic diseases.
In: Zweiman B, Schwartz LB.editors.USA: Marcel Dekker; 2002.p.325-54.
Michel FB. Neukirch F. Housyuel J. (1995). Asthma: a world problem of
public health. Bull Acad Natl Med
Miyamoyo T, Mikawa H. (1994). Asthma management In Asia. The 8th Allergy
and Respiratory Diseases Conference. Life Science Medica Co, Ltd. Marc
Santosa Giriwijoyo dan Muchtamadji M. Ali. (2006). Ilmu Faal Olahraga
Fungsi Tubuh Manusia pada Olahraga. Bandung: Fakultas Pendidikan Olahraga dan
Kesehatan UPI.
Sheffer AL. (1992). International consensus Report on Diagnosis and
management of Astma. US
Departement of Health and Human Services. Clinical and Experimental
Allergy, Vol. 2. Suppl. I.
Soena Stxmantri ES.(1995). Epidemiologi asma di Indonesia. Buku Makalah
Lengkap Penemuan
Ilmiah Recent Advances In Respiratory Medicine. Konkemas Perkumpulan Dokter
Paru Indonesia
Sri Astuti Suparmanto. (1994). Dirjen Pelayanan Medik (Yanmed) Departemen
Kesehatan. Jakarta.
Basuky, Physio Nur, “ Anatomi Terapan Sistem Respirasi”, Poloteknik
Kesehatan
Surakarta Jurusan Fisioterapi, Hal 59-65, Surakarta, 2007.
Brunner & Suddart, “Keperawatan Medikal Bedah” Edisi 8 Vol 1.
Chung KF, Pavord ID, “Prevalence, pathogenesis, and causes of chronic
cough”, Lancet 371, Hal 64–74, 2008.
Taufik, Yunus F, Nawas A, Mangunnegoro H. Kematian pada asma bronkial. J
Respir Indo 1999;19: 119-24.
Supartini N, Santoso DI, Kardjito T. Konsep baru patogenesis asma bronkial.
J Respir Indo 1995;15:156-62.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar